
Ketika datang bulan Rajab, umat Islam berlomba dalam mencari dalil-dalil shahih tentang amal ibadah yang menjadi fadhail (keutamaan ibadah) pada bulan mulia ini. Namun tidak banyak di antara amalan yang sudah dilakukan oleh umat muslim, secara spesifik diketahui tentang dalil hujjah yang dijadikan sandaran dalam mengamalkan ibadah-ibadah tersebut.
Di antara ibadah yang masyhur dilakukan dan diamalkan oleh muslim pada bulan Rajab adalah doa berikut:
اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجبٍ وشعبانَ وبلِّغنا رمضانَ
Lalu bagaimana sandaran dalil tentang redaksi doa, yang sering diamalkan oleh umat Muslim di bulan Rajab ini? Mari kita lihat bersama. Yang pertama doa ini kita dapat menjumpainya dalam kitab Al-Adzkar yang ditulis oleh Imam Nawawi, dengan rawi pada tingkatan shahabat dinisbatkan kepada Sayyidina Anas bin Malik, namun dalam derajat hadits yang Dhaif. Kemudian redaksi doa ini juga dapat kita temukan dalam Al-Mu’jam Al-Aushat yang ditulis oleh Al-Imam Thabrani, dengan komentar yang diberikan terhadap hadits ini bahwa tidak ditemukan riwayat lain, yang dapat menguatkan hadits ini kecuali hanya yang diriwayatkan oleh Zaidah bin Abi al-Raqaad. Imam Al-Dzahabi juga menyebutkan redaksi hadits ini dalam Mizanul I’tidal, sekaligus Al-Imam memberikan komentar bahwa rawi dalam sanad hadits ini, yaitu Zaidah bin Abi Al-Raqaad serta Ziyad an-Numairi pada derajat Dhaif. Dan masih banyak riwayat lain dan kitab-kitab lain yang ditemukan di dalamnya riwayat dengan redaksi doa rajab yang memiliki kesamaan, dengan derajat dhaif. Termasuk al-Imam Bukhari memberikan komentar, yang dikutip dalam kitab Syu’abul Iman karangan Imam Baihaqi, bahwa salah satu rawi dalam hadits doa rajab, yakni Zaid dari Ziad al-Numairi berada pada tingakatan munkarul hadits.
Maka pertanyaan kita sekarang, bagaimana sikap kita terhadap riwayat hadits tentang doa rajab yang sudah dikenal dan tersebar luas dikalang umat muslim? Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana berhujjah dengan hadits yang dhaif. Di antara pendapat ulama tentang hadits dhaif adalah bahwa hadits dhaif masih dimungkinkan untuk diamalkan dengan catatan bahwa ada banyak hadits lain dengan riwayat yang berbeda, namun dengan makna yang sama, menjadi penguat atas hadits tersebut, sehingga hadits dhaif ini berubah derajatnya menjadi Hasan li Ghairihi. Atau dengan catatan bahwa hadits ini hanya diamalkan pada Fadhailul A’mal (Keutamaan amal) saja, tentu juga dengan kondisi bahwa dhaif yang disandarkan sebagai nilai derajatnya, tidak menjadikan hadits tersebut sangat dhaif. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al Imam Nawawi, al Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Al-Imam Suyuthi, Al-Imam Ibnu Jama’ah, Al-Imam al-Thiibi, Al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl Al-‘iraqiy, Al-Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr al-Maliki, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Haitami, Al Imam Ibnu Katsir, Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Imam Al-Shan’ani, dan Ulama lainnya.
Maka dengan pendapat-pendapat di atas, kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa, terdapat hadits-hadits dhaif yang dijadikan sebagai hujjah dalam beramal. Hal ini dilakukan oleh banyak ulama’, dengan tentunya terdapat catatan-catatan yang menjadi pembatasnya, agar tidak bertentangan dengan syari’at yang ada, bahkan hujjah yang paling utama yakni Al-Qur’an. Namun sebagai penyampai ilmu yang baik, tentu tidak akan menyampaikan redaksi riwayat do’a sya’ban ini dengan menyembunyikan status derajat hadits tersebut. Objektifitas sebagai muballigh dan mu’allim harus dilakukan, dengan menyatakan hadits yang shahih adalah shahih dan begitupun sebaliknya.
Lalu bagaimana jika kita hendak mengamalkannya? Perintah untuk berdoa di dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum tanpa batas, dengan ayat; “Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.”’ (QS. Ghafiir: 60). Dan Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 186; “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” Perintah ini bersifat umat tanpa muqayyad (Batasan secara rinci). Sehingga makna umum yang dapat kita peroleh adalah bahwa perintah berdoa yang dimaksudkan dalam nash di atas adalah mutlak, artinya tidak terbatas dengan teks doa yang harus manshus (ditunjukkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits). Bahkan, sah saja jika seseorang berdoa dengan bahasa yang ia pahami dan kuasai maknyanya dengan baik. Maka dalam hal ini juga termasuk doa di bulan Rajab dengan redaknya yang bersama kita bahas sebelumnya. Jika ditinjau dari segi makna, maka tidak ditemukan redaksi yang bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun hadits, sehingga membaca doa do bulan Rajab dengan redaksi doa tersebut di atas menjadi mubah. Wallahu a’lam.
Semoga kita selalu diberikan keberkahan dengan wasilah kemuliaan bulan Rajab. Wallahu wa rasululhu a’lam.