Apakah Do’a yang sering dibaca ketika Bulan Rajab Benar Shahih dari Rasulullah SAW?

Ketika datang bulan Rajab, umat Islam berlomba dalam mencari dalil-dalil shahih tentang amal ibadah yang menjadi fadhail (keutamaan ibadah) pada bulan mulia ini. Namun tidak banyak di antara amalan yang sudah dilakukan oleh umat muslim, secara spesifik diketahui tentang dalil hujjah yang dijadikan sandaran dalam mengamalkan ibadah-ibadah tersebut.

Di antara ibadah yang masyhur dilakukan dan diamalkan oleh muslim pada bulan Rajab adalah doa berikut:

اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجبٍ وشعبانَ وبلِّغنا رمضانَ

Lalu bagaimana sandaran dalil tentang redaksi doa, yang sering diamalkan oleh umat Muslim di bulan Rajab ini? Mari kita lihat bersama. Yang pertama doa ini kita dapat menjumpainya dalam kitab Al-Adzkar yang ditulis oleh Imam Nawawi, dengan rawi pada tingkatan shahabat dinisbatkan kepada Sayyidina Anas bin Malik, namun dalam derajat hadits yang Dhaif. Kemudian redaksi doa ini juga dapat kita temukan dalam Al-Mu’jam Al-Aushat yang ditulis oleh Al-Imam Thabrani, dengan komentar yang diberikan terhadap hadits ini bahwa tidak ditemukan riwayat lain, yang dapat menguatkan hadits ini kecuali hanya yang diriwayatkan oleh Zaidah bin Abi al-Raqaad. Imam Al-Dzahabi juga menyebutkan redaksi hadits ini dalam Mizanul I’tidal, sekaligus Al-Imam memberikan komentar bahwa rawi dalam sanad hadits ini, yaitu Zaidah bin Abi Al-Raqaad serta Ziyad an-Numairi pada derajat Dhaif. Dan masih banyak riwayat lain dan kitab-kitab lain yang ditemukan di dalamnya riwayat dengan redaksi doa rajab yang memiliki kesamaan, dengan derajat dhaif. Termasuk al-Imam Bukhari memberikan komentar, yang dikutip dalam kitab Syu’abul Iman karangan Imam Baihaqi, bahwa salah satu rawi dalam hadits doa rajab, yakni Zaid dari Ziad al-Numairi berada pada tingakatan munkarul hadits.

Maka pertanyaan kita sekarang, bagaimana sikap kita terhadap riwayat hadits tentang doa rajab yang sudah dikenal dan tersebar luas dikalang umat muslim? Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana berhujjah dengan hadits yang dhaif. Di antara pendapat ulama tentang hadits dhaif adalah bahwa hadits dhaif masih dimungkinkan untuk diamalkan dengan catatan bahwa ada banyak hadits lain dengan riwayat yang berbeda, namun dengan makna yang sama, menjadi penguat atas hadits tersebut, sehingga hadits dhaif ini berubah derajatnya menjadi Hasan li Ghairihi. Atau dengan catatan bahwa hadits ini hanya diamalkan pada Fadhailul A’mal (Keutamaan amal) saja, tentu juga dengan kondisi bahwa dhaif yang disandarkan sebagai nilai derajatnya, tidak menjadikan hadits tersebut sangat dhaif. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al Imam Nawawi, al Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Al-Imam Suyuthi, Al-Imam Ibnu Jama’ah, Al-Imam al-Thiibi, Al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl Al-‘iraqiy, Al-Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr al-Maliki, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Haitami, Al Imam Ibnu Katsir, Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Al-Imam Al-Shan’ani, dan Ulama lainnya.

Maka dengan pendapat-pendapat di atas, kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa, terdapat hadits-hadits dhaif yang dijadikan sebagai hujjah dalam beramal. Hal ini dilakukan oleh banyak ulama’, dengan tentunya terdapat catatan-catatan yang menjadi pembatasnya, agar tidak bertentangan dengan syari’at yang ada, bahkan hujjah yang paling utama yakni Al-Qur’an. Namun sebagai penyampai ilmu yang baik, tentu tidak akan menyampaikan redaksi riwayat do’a sya’ban ini dengan menyembunyikan status derajat hadits tersebut. Objektifitas sebagai muballigh dan mu’allim harus dilakukan, dengan menyatakan hadits yang shahih adalah shahih dan begitupun sebaliknya.

Lalu bagaimana jika kita hendak mengamalkannya? Perintah untuk berdoa di dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum tanpa batas, dengan ayat; “Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.”’ (QS. Ghafiir: 60). Dan Allah SWT berfirman dalam QS. Al Baqarah ayat 186; “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” Perintah ini bersifat umat tanpa muqayyad (Batasan secara rinci). Sehingga makna umum yang dapat kita peroleh adalah bahwa perintah berdoa yang dimaksudkan dalam nash di atas adalah mutlak, artinya tidak terbatas dengan teks doa yang harus manshus (ditunjukkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits). Bahkan, sah saja jika seseorang berdoa dengan bahasa yang ia pahami dan kuasai maknyanya dengan baik. Maka dalam hal ini juga termasuk doa di bulan Rajab dengan redaknya yang bersama kita bahas sebelumnya. Jika ditinjau dari segi makna, maka tidak ditemukan redaksi yang bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun hadits, sehingga membaca doa do bulan Rajab dengan redaksi doa tersebut di atas menjadi mubah. Wallahu a’lam.

Semoga kita selalu diberikan keberkahan dengan wasilah kemuliaan bulan Rajab. Wallahu wa rasululhu a’lam.

SUNNAH MEMILIKI TEMAN HIDUP dalam QS. Al-Kahfi

Manusia dalam hidupnya tidak bisa berdiri dengan sendirinya. Artinya mereka membutuhkan peran orang lain atau bahkan secara umum, peran makhluk lain. Maka banyak orang menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini sebagai hujjah (dalil) terbesar bahwa manusia tidak bisa menyombongkan dirinya dengan merasa tidak membutuhkan orang lain, bahkan pertolongan Allah swt. sekalipun. Sehingga Allah berfirman di dalam QS. Fatir ayat 15;

۞ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ ﴿فاطر

Artinya: “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” Allah swt dalam ayat tersebut menyebutkan manusia sebagai fuqara’ yang artinya orang-orang yang sangat memerlukan/membutuhkan. Bahkan ketika kita merujuk kepada pengertian yang disediakan dalam Fiqih pada bab Zakat, lebih tepatnya mustahiq zakat, faqir adalah orang yang dalam hidupnya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya, dan mereka tidak memiliki penghasilan. Berbeda dengan miskin yang mereka masih memiliki penghasilan namun hanya baru dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya setengah atau lebih.

Khitab munada yang dipanggil, sebagai kata ganti manusia di dalam QS. Fatir: 15 adalah al-Naas, bukan al-Basyar atau al-Insan ataupun yang lainnya. Artinya pada ayat tersebut manusia dipanggil dari sisi sosialnya. Bukan manusia dilihat dari sisi biologis, yang dalam bahasa arab diwakili dengan kata al-Basyar. Sehingga menambah yakin kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan kepada selainnya, baik secara horisontal kepada sesama makhluk, maupun secara vertikal kepada Allah swt..Kebutuhan manusia akan partner atau pendamping hidup sangat indah Allah SWT abadikan di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah apa yang tertulis di dalam Surat Al-Kahfi, yan setidaknya di dalamnya memuat 3 kisah pertemanan dalam hidup. Pertama, kisah ashabul Kahfi yang merupakan pertemanan 8 pemuda shalih, bahkan dengan makhluk yang dinilai hina di depan banyak mata manusia, yaitu anjing. Kemudian kedua, pertemanan Nabi Muhammad saw dengan orang-orang lemah dan miskin dari kalangan para sahabat. Dan ketiga, pertemanan atau persahabatan Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s dan Yusya’ ibn Nun.

Dalam tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim karya Abi al-Fida Ismail ibn Katsir, disebutkan bahwa Ashabul Kahfi hidup pada masa syariat agama Nabi Isa putra Maryam atau sebelumnya. Ketika agama nashrani belum terlalu menyebar. Mereka tinggal pada sebuah negeri yang bernama al-Anadhul, yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama Diqladyanus atau al-Hafidz ibnu katsir menyebutnya dengan Diqyanus. Masyarakat negeri tersebut menyembah berhala dengan seruan yang disampaikan oleh sang raja. Sampai suatu ketika pemuda ashabul kahfi tersebut diperintahkan untuk menghadap raja, agar menceritkan ibadah yang mereka lakukan. Diqyanus menanyakan kepada mereka, “Apakah berita yang saya dengar, benar bahwa kalian tidak beribadah seperti kami, dan kalian menyembah tuhan yang berbeda?”, mereka menjawab, “Sungguh kami menyembah Allah yang Maha Satu dan Esa, yang telah menciptakan kami, yang telah memberi kami rizki, dan kepada Nya lah kami akan kembali pada hari kiamat.” Raja kemudian bertanya, “Apa itu hari kiamat yang kalian maksudkan?”. Para pemuda tersebut kemudian menjawabnya, ”Bahwa Sunggu Allah swt yang meciptakan kami, pasti akan mengumpulkan kami setelah kematian untuk melakukan perhitungan amal ketika kami hidup di dunia. Jika seseorang ketika hidupnya baik, maka dia niscaya akan dalam kebaiakan. Namun jika buruk, maka dia dalam keburukan itu di akhirat.” Begitulah dialoh berlangsung di antara mereka. Namun Raja tetap tidak mau menerima agama yang dibawa oleh para pemuda tersebut. Dan Raja mengancam akan membunuh mereka jika tidak menyembah tuhan berhala seperti yang berlaku dalam negeri tersebut. Mereka ashabul kahfi teguh dalam pendirian, dan saling menguatkan dalam keimanan. Sampai pada satu keputusan mereka akan melarikan diri dari negeri tersebut, dan mencari tempat yang aman. Maka Allah swt perkokohkan keimanan mereka, dan kebaikan mereka tidak akan disia-siakan dengan didatangkan pertolongan Allah swt.Kisah yang kedua adalah tentang Rasulullah saw.. Tentu sangat tepat, jika di dalam Surat Al-Kahfi disebutkan kisah manusia pilihan, insan mulia, sebagai salah satu pelajaran yang dapat kita istifadahkan (mengambil manfaat) tentang bagaimana Rasulullah saw. diperintahkan untuk berteman. Allah swt berfirman:

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا.

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi: 28).Ayat ini bercerita berkenaan dengan keadaan orang-orang mulia dari kalangan Quraisy, yang melarang Rasulullah saw untuk berteman dan duduk bersama dengan orang-orang yang miskin atau budak, dan yang tidak memiliki kedudukan sosial di kalangan bangsa arab. Maksud orang Quraisy tentang orang-orang tersebut adalah seperti Bilal ibn Rabah, ‘Ammar, Shuhaib, Khabbab, dan Ibnu Mas’ud. Maka pada waktu itu turunlah ayat ini, agar dalam berteman Rasulullah saw bukan menilai dari sisi fisiknya, namun jauh tentang nilai yang mereka lakukan dihadapan Allah swt.

Kriteria teman yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah mereka yang senantiasa berdoa dan berdzikir kepada Allah pada waktu pagi dan sore. Artinya bertemanlah dengan orang-orang yang tidak membuat kita lupa kepada Allah swt. dengan pembicaraan-pembicaraan yang sarat akan duniawi saja, dan melupakan kesiapan kita untuk menuju akhirat. Ayat ini juga melarang kita untuk berteman dengan orang-orang yang melalaikan hati dari dzikir (mengingat) kepada Allah swt., dan mereka cenderung untuk memuaskan hawa nafsunya sendiri..Kemudian kisah terakhir, adalah berkenaan dengan pertemanan Nabi Musa as. dengan Nabi Khidir. Pertemanan ini menginspirasi kita bahwa dalam mencari teman hendaknya memilih teman yang dapat mengoreksi kesalahan kita. Mereka dapat mengatakan dengan jujur ketika kita salah, dengan mau menegur kita. Bukan membiarkan kita terjerumus dalam kesalahan, dan seakan-akan dia adalah teman yang baik yang selalu menemani. Teman juga adalah mereka yang tetap mau membantu kita untuk memperbaiki diri sendiri ketika salah, atau bahkan ketika sedang dalam kondisi terpuruk. Hal ini juga tergambar dalam perjalanan Nabi Musa as. sebelum bertemu Nabi Khidir as., bahwa ada satu teman yang membantu perjalannanya. Al Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa namanya adalah Yusya bin Nun. Dia menemani Nabi Musa untuk menempuh perjalanan yang jauh dalam rangka memberikan dukungan kepada Nabi Musa untuk memperbaiki diri dan belajar menjadi lebih baik lagi.

Semua kisah di atas, tidak hanya pelajaran sekadar pada mencari teman di sekolah, di masyarakat, ataupun di tempat kerja. Tapi bagi kalian yang masih bingung mencari teman untuk berumah tangga, maka benarlah kata Rasulullah saw untuk berpegang pada nilai agama yang ia miliki. Agar bahagialah ketika hidup dalam menyeberangi bahtera kehidupan. Maka dapat disimpulkan, memilih teman, partner, atau pasangan yang baik adalah sunnah. Jadikanlah ukuran teman yang baik adalah yang saling meneguhkan dalam keimanan seperti ashabul kahfi. Jadikanlah neraca timbangan teman yang baik adalah yang selalu mengingatkan kepada Allah swt. seperti yang disampaikan kepada Rasulullah. Serta pilihlah teman yang selalu jujur mengatakan pada yang salah itu tetap salah, dan mereka mau membantu kita untuk berjuang keluar dari kesalaham itu, seperti Nabi Musa as. bersama Nabi Khirdir, dan Yusya bin Nun. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim, mengutip sebuah syair;

عن المرء لاتسئل وأبصر قرينه ۞ فان القرين بالمقارن يقتديفان كان ذا شر فجانبه سرعة ۞ وان كان ذا خير فقارنه تهتديلاتصحب السلان فى حالاته ۞ كم صالح بفساد اخر يفسد

Allahumma alhiqna bi al rafiiq al a’la. Wallahu khirul musta’aan.

Ditulis oleh Ade Darmawan

Siapa yang TERBAIK? Saya atau Mereka?

Pada satu waktu ketika kami sedang melakukan puasa sunnah, kami dikejutkan dengan sebuah hadits yang sangat menegur bagi orang-orang yang berpuasa. Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut,
.
الطاعمُ الشَّاكرُ بمنزلةِ الصائمِ الصابرِ
.
Artinya: “Orang yang makan (tidak berpuasa) namun dia bersyukur, itu berada pada posisi yang sama seperti orang yang berpuasa dan ia bersabar (dalam puasanya)”. (HR. Tirmidzi, Ahmad dengan kualitas hadits Shahih)
.
Artinya bahwa syukur itu merupakan ibadah yang Muhimmah (sangat penting), sampai untuk menyatakan betapa mulianya orang yang bersyukur, dibuatkanlah satu perbandingan yang cukup signifikan, yakni antara orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa. Bahwa bagi yang tidak berpuasa, jika mereka dalam mengkonsumsi makananya kemudian dimanifestasikan dalam syukur maka itu kedudukannya sama seperti orang yang berpuasa dan mereka sabar.
.
Tidak dapat dipungkiri lagi, betapa susahnya untuk berpuasa kemudian kita harus tetap dalam kesabaran, sampai batas berbuka (waktu maghrib). Tanpa marah, ghibah, fitnah, atau menyebarkan berita hoaks, atau informasi adu domba. Dan bahkan perbuatan yang bernilai dosa lainnya. Setelah itu nilai puasa dengan kesebaran tersebut memiliki posisi yang sama dengan yang tidak berpuasa. Maka kita tidak tahu di antara siapa yang terbaik apakah pelaku puasa atau yang tidak.
.
Kemudian, suatu saat kami diberikan kesempatan untuk mengobrol dengan salah satu mahasiswa jurusan sains, ketika berbicara tentang tema agama mereka menyatakan kepada kami, “beruntung ya, anda berada pada posisi pelajar agama yang mulia ini.” “Sedangkan kami setiap hari dihadapkan dengan materi yang bersifat duniawi”. Maka dihati saya terbesit jawaban, “tidak lah seperti itu pertanyaan itu seharusnya”.
.
Maka mari kita renungkan bahwa memang sunnatullah, atau bahkan ini sebagai ayat Allah, bahwa makhlukNya diciptakan dalam keadaan yang bermacam-macam, dalam fisik yang bermacam-macan, dalam fokus ilmu yang bermacam-macam, dalam perkerjaan yang bermacam-macam dan lain sebagainya. Hal itu ditegaskan dalam QS. Al Isra ayat 21, bahwa Allah swt berfirman “Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain)…”.
.
Imam Abi Fida Ismail ibn Katsir, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, menjelaskan bahwa maksud “dilebihkan antara satu di atas yang lainnya” adalah adanya fakir dan kaya, adanya baik dan buruk, bahkan ada yang meninggal waktu kecil ada juga yang dipanjangkan umurnya. Selain itu, juga bermakna kita diberikan kesempatan untuk belajar dimanapun, itu juga karunia Allah swt. Kita diberikan kesempatan beribadah atau tidak, dengan puasa dan tidak puasa, itu juga karunia Allah swt, bahwa Allah hendak menyatakan ayat-ayat nya.
.
Namun dibalik semua itu, yang terpenting adalah bagaimana kita dalam bersikap, sebagai hamba di sisi Allah swt, dengan penciptaan yang berbeda-beda ini. Sebagaimana Allah swt pertegas dengan kalam Nya, dalam QS. Al Isra’ ayat 84, “Katakanlah (wahai Muhammad): “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
.
Dan ternyata memang benar yang mendatangkan kemuliaan dan keridhaan di sisi Allah, bukan karena siapa kita dan dimana kita. Namun jauh dari itu apa yang kita niatkan dan lakukan. Maka kita tidak bisa menilai sebenarnya, apakah yang berpuasa itu lebih baik, atau yang tidak berpuasa? apakah yang ‘alim terhadap agama adalah yang baik atau yang biasa saja? semua jawabannya ada di sisi Rabb al ‘Izzah.
.
Apakah kita akan menilai buruk, ketika Rasulullah saw bersama para sahabat kalah dalam perang Uhud. Tentu tidak, ternyata hal itu menjadi pelajaran berharga bagi umat muslim untuk bangkit kembali dan menjadi lebih kuat. Sehingga tidak ada kekalahan setelah itu, yang diperoleh hanyalah kemenangan dan keberhasilan. Maka sekali lagi Allah swt ingatkan dalam firmannya QS. Ali Imran ayat 140, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
.
Manusia digilirkan untuk menang dan kalah, untuk bahagia dan sedih. Namun yang beruntung adalah yang bersyukur.
.
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (QS. Al-An’am: 53)
.
Syukurilah keadaanmu sekarang, dan mulailah untuk melangkah.

APAKAH KITA BISA MENENTUKAN SENDIRI DALAM MEMILIH HADITS

Ketika belajar Muhkam dan Mukhtalif dalam hadits kita akan sadar bahwa tidak semua hadits, selalu muwafiqah (maknanya sejalan secara dzahir). Bahwa ada di antara hadits yang bertentangan. Maka kita bertanya, hadits mana yang harus saya amalkan? Kebanyakan orang awam akan melihat jika ini di Shahih Al-Bukhari dan yang lain yang bertentangan adalah di Sunan al-Tirmidzi, langsung mengambil hadits yang berada di Shahih al-Bukhari. Padahal tidak seperti itu, dan semudah itu.

Marilah kita melihat sejenak apa yang ada di dalam buku yang sederhana, ringkasan Musthalah al Hadits karya Dr. Mahmud al-Thahan. Beliau menuliskan bahwa pilihan pertamanya untuk solusi hadits yang bertentangan adalah mengumpulkan untuk dikompromikam secara makna, dan ini tentu adalah otoritas yang memiliki pengetahuan tentang hadits, dari segi lughah (bahasa), ilmu ushul hadits, asbabul wurud hadits, bahkan sampai ilmu tentang ta’arrudh al dilalah serta ilmu lainnya..Kemudian solusi pilihan kedua, jika tidak bisa di kompromikan maknanya (yakni: al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat menempuh 3 langkah berikut. Apa saja itu?

Pertama, dilihat apakah hadits itu berstatus NASAKH dan MANSUKH (yang satu menghapus hukum yang lainnya), maka dalam ini kita membutuhkan ilmu asbabul wurud (ilmu tentang kapan disampaikannya hadits termasuk sebabnya). Jika tidak bisa, maka dapat menempuh langkah yang kedua, dengan lakukan AL-TARJIH atau mengunggulkan salah satu hadits dari yang bertentangan itu. Tentu kita membutuhkan ilmu, tentang bagaimana saya harus men-tarjih dan menilai rendah hadits yang lain baik dari segi sanad ataupun matan? Kemudian jika belum juga kita dapat memutuskan, kita lakukan langkah yang ketiga, adalah JANGAN menilai satu hadits lebih unggul dari yang lain, namun berusaha untuk mengamalkan keduanya, sampai kita mendapatkan informasi dari seorang yang ahli dalam hadits untuk memutuskan hal tersebut..Itulah betapa agama ini tidak hanya sekadar senda gurau di antara orang-orang yang tidak berilmu. Hanya mengetahui sebagain dan menganggap sudah memiliki semuanya. Memuntahkan dalil bukan mengolahnya. Selain itu, sejarah keilmuan mencatat bahwa ulama pertama yang fokus tentang hadits-hadits yang bertentangan adalah Imam Syaf’ii. Kemudian disusul Ibnu Qutaibah dengan kitabnya Ta’wil Mukhtalif Al Hadits. Dan Al Thahawi (Abi Ja’far Ahmad bin Salamah) dengan kitabnya Musykil al Atasr..Maka sebagai manusia yang awam dengan ilmu, kita sandarkan agama ini kepada ahlinya. Dan tidak gegabah untuk mengambil kesimpulan sendiri. Semoga Allah jadikan kita hamba yang menitih jalan yang benar. Allahummahdina sawaaassabil..

Wallahu A’lam.

– Diambil dari hasil bacaan Kitab Musthalah al Hadits karya Dr. Mahmud al Thahhan

Re-Write : Hamba yang lemah dan kurang berilmu, Ade Darmawan