SUNNAH MEMILIKI TEMAN HIDUP dalam QS. Al-Kahfi

Manusia dalam hidupnya tidak bisa berdiri dengan sendirinya. Artinya mereka membutuhkan peran orang lain atau bahkan secara umum, peran makhluk lain. Maka banyak orang menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini sebagai hujjah (dalil) terbesar bahwa manusia tidak bisa menyombongkan dirinya dengan merasa tidak membutuhkan orang lain, bahkan pertolongan Allah swt. sekalipun. Sehingga Allah berfirman di dalam QS. Fatir ayat 15;

۞ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ ﴿فاطر

Artinya: “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” Allah swt dalam ayat tersebut menyebutkan manusia sebagai fuqara’ yang artinya orang-orang yang sangat memerlukan/membutuhkan. Bahkan ketika kita merujuk kepada pengertian yang disediakan dalam Fiqih pada bab Zakat, lebih tepatnya mustahiq zakat, faqir adalah orang yang dalam hidupnya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya, dan mereka tidak memiliki penghasilan. Berbeda dengan miskin yang mereka masih memiliki penghasilan namun hanya baru dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya setengah atau lebih.

Khitab munada yang dipanggil, sebagai kata ganti manusia di dalam QS. Fatir: 15 adalah al-Naas, bukan al-Basyar atau al-Insan ataupun yang lainnya. Artinya pada ayat tersebut manusia dipanggil dari sisi sosialnya. Bukan manusia dilihat dari sisi biologis, yang dalam bahasa arab diwakili dengan kata al-Basyar. Sehingga menambah yakin kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan kepada selainnya, baik secara horisontal kepada sesama makhluk, maupun secara vertikal kepada Allah swt..Kebutuhan manusia akan partner atau pendamping hidup sangat indah Allah SWT abadikan di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah apa yang tertulis di dalam Surat Al-Kahfi, yan setidaknya di dalamnya memuat 3 kisah pertemanan dalam hidup. Pertama, kisah ashabul Kahfi yang merupakan pertemanan 8 pemuda shalih, bahkan dengan makhluk yang dinilai hina di depan banyak mata manusia, yaitu anjing. Kemudian kedua, pertemanan Nabi Muhammad saw dengan orang-orang lemah dan miskin dari kalangan para sahabat. Dan ketiga, pertemanan atau persahabatan Nabi Musa dengan Nabi Khidir a.s dan Yusya’ ibn Nun.

Dalam tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim karya Abi al-Fida Ismail ibn Katsir, disebutkan bahwa Ashabul Kahfi hidup pada masa syariat agama Nabi Isa putra Maryam atau sebelumnya. Ketika agama nashrani belum terlalu menyebar. Mereka tinggal pada sebuah negeri yang bernama al-Anadhul, yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama Diqladyanus atau al-Hafidz ibnu katsir menyebutnya dengan Diqyanus. Masyarakat negeri tersebut menyembah berhala dengan seruan yang disampaikan oleh sang raja. Sampai suatu ketika pemuda ashabul kahfi tersebut diperintahkan untuk menghadap raja, agar menceritkan ibadah yang mereka lakukan. Diqyanus menanyakan kepada mereka, “Apakah berita yang saya dengar, benar bahwa kalian tidak beribadah seperti kami, dan kalian menyembah tuhan yang berbeda?”, mereka menjawab, “Sungguh kami menyembah Allah yang Maha Satu dan Esa, yang telah menciptakan kami, yang telah memberi kami rizki, dan kepada Nya lah kami akan kembali pada hari kiamat.” Raja kemudian bertanya, “Apa itu hari kiamat yang kalian maksudkan?”. Para pemuda tersebut kemudian menjawabnya, ”Bahwa Sunggu Allah swt yang meciptakan kami, pasti akan mengumpulkan kami setelah kematian untuk melakukan perhitungan amal ketika kami hidup di dunia. Jika seseorang ketika hidupnya baik, maka dia niscaya akan dalam kebaiakan. Namun jika buruk, maka dia dalam keburukan itu di akhirat.” Begitulah dialoh berlangsung di antara mereka. Namun Raja tetap tidak mau menerima agama yang dibawa oleh para pemuda tersebut. Dan Raja mengancam akan membunuh mereka jika tidak menyembah tuhan berhala seperti yang berlaku dalam negeri tersebut. Mereka ashabul kahfi teguh dalam pendirian, dan saling menguatkan dalam keimanan. Sampai pada satu keputusan mereka akan melarikan diri dari negeri tersebut, dan mencari tempat yang aman. Maka Allah swt perkokohkan keimanan mereka, dan kebaikan mereka tidak akan disia-siakan dengan didatangkan pertolongan Allah swt.Kisah yang kedua adalah tentang Rasulullah saw.. Tentu sangat tepat, jika di dalam Surat Al-Kahfi disebutkan kisah manusia pilihan, insan mulia, sebagai salah satu pelajaran yang dapat kita istifadahkan (mengambil manfaat) tentang bagaimana Rasulullah saw. diperintahkan untuk berteman. Allah swt berfirman:

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا.

Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi: 28).Ayat ini bercerita berkenaan dengan keadaan orang-orang mulia dari kalangan Quraisy, yang melarang Rasulullah saw untuk berteman dan duduk bersama dengan orang-orang yang miskin atau budak, dan yang tidak memiliki kedudukan sosial di kalangan bangsa arab. Maksud orang Quraisy tentang orang-orang tersebut adalah seperti Bilal ibn Rabah, ‘Ammar, Shuhaib, Khabbab, dan Ibnu Mas’ud. Maka pada waktu itu turunlah ayat ini, agar dalam berteman Rasulullah saw bukan menilai dari sisi fisiknya, namun jauh tentang nilai yang mereka lakukan dihadapan Allah swt.

Kriteria teman yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah mereka yang senantiasa berdoa dan berdzikir kepada Allah pada waktu pagi dan sore. Artinya bertemanlah dengan orang-orang yang tidak membuat kita lupa kepada Allah swt. dengan pembicaraan-pembicaraan yang sarat akan duniawi saja, dan melupakan kesiapan kita untuk menuju akhirat. Ayat ini juga melarang kita untuk berteman dengan orang-orang yang melalaikan hati dari dzikir (mengingat) kepada Allah swt., dan mereka cenderung untuk memuaskan hawa nafsunya sendiri..Kemudian kisah terakhir, adalah berkenaan dengan pertemanan Nabi Musa as. dengan Nabi Khidir. Pertemanan ini menginspirasi kita bahwa dalam mencari teman hendaknya memilih teman yang dapat mengoreksi kesalahan kita. Mereka dapat mengatakan dengan jujur ketika kita salah, dengan mau menegur kita. Bukan membiarkan kita terjerumus dalam kesalahan, dan seakan-akan dia adalah teman yang baik yang selalu menemani. Teman juga adalah mereka yang tetap mau membantu kita untuk memperbaiki diri sendiri ketika salah, atau bahkan ketika sedang dalam kondisi terpuruk. Hal ini juga tergambar dalam perjalanan Nabi Musa as. sebelum bertemu Nabi Khidir as., bahwa ada satu teman yang membantu perjalannanya. Al Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa namanya adalah Yusya bin Nun. Dia menemani Nabi Musa untuk menempuh perjalanan yang jauh dalam rangka memberikan dukungan kepada Nabi Musa untuk memperbaiki diri dan belajar menjadi lebih baik lagi.

Semua kisah di atas, tidak hanya pelajaran sekadar pada mencari teman di sekolah, di masyarakat, ataupun di tempat kerja. Tapi bagi kalian yang masih bingung mencari teman untuk berumah tangga, maka benarlah kata Rasulullah saw untuk berpegang pada nilai agama yang ia miliki. Agar bahagialah ketika hidup dalam menyeberangi bahtera kehidupan. Maka dapat disimpulkan, memilih teman, partner, atau pasangan yang baik adalah sunnah. Jadikanlah ukuran teman yang baik adalah yang saling meneguhkan dalam keimanan seperti ashabul kahfi. Jadikanlah neraca timbangan teman yang baik adalah yang selalu mengingatkan kepada Allah swt. seperti yang disampaikan kepada Rasulullah. Serta pilihlah teman yang selalu jujur mengatakan pada yang salah itu tetap salah, dan mereka mau membantu kita untuk berjuang keluar dari kesalaham itu, seperti Nabi Musa as. bersama Nabi Khirdir, dan Yusya bin Nun. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim, mengutip sebuah syair;

عن المرء لاتسئل وأبصر قرينه ۞ فان القرين بالمقارن يقتديفان كان ذا شر فجانبه سرعة ۞ وان كان ذا خير فقارنه تهتديلاتصحب السلان فى حالاته ۞ كم صالح بفساد اخر يفسد

Allahumma alhiqna bi al rafiiq al a’la. Wallahu khirul musta’aan.

Ditulis oleh Ade Darmawan