Ruhama Al Fajar
ما أُعْطِيَ أحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”
Hadits ini mengajarkan tentang nilai dan keutamaan kesabaran. Pemberian atau anugerah yang paling berharga dari Allah adalah kemampuan untuk bersabar dalam menghadapi berbagai situasi hidup. Kesabaran dianggap sebagai kualitas yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنُؤَاخَذُ بِمَا عَمِلْنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ مَنْ أَحْسَنَ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمَا عَمِلَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَنْ أَسَاءَ فِي الْإِسْلَامِ أُخِذَ بِالْأَوَّلِ وَالْآخِرِ.
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Seorang pria bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan dihisab berdasarkan apa yang kami lakukan di masa jahiliyah?’ Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab, ‘Barangsiapa yang berbuat baik dalam Islam, dia tidak akan dihisab berdasarkan apa yang dilakukan di masa jahiliyah. Namun barangsiapa yang berbuat buruk dalam Islam, dia akan dihisab untuk dosa-dosanya yang lama maupun yang baru.'”
Hadits ini menegaskan bahwa seseorang yang telah memeluk Islam dan memperbaiki dirinya dengan perbuatan baik dalam Islam tidak akan dihisab untuk perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum masuk Islam. Namun, jika seseorang tetap berbuat buruk setelah memeluk Islam, dia akan dihisab untuk perbuatan buruk tersebut.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم: التَّأنِّي مِن الله، والعَجَلة مِن الشَّيطان
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam: ‘Ketenangan itu berasal dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari syaitan.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa sifat tenang dan tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu merupakan sikap yang dianjurkan dan berasal dari Allah. Sebaliknya, tergesa-gesa dan terburu-buru adalah sifat yang tidak baik dan berasal dari syaitan, yang sering kali mendorong seseorang untuk bertindak impulsif atau tidak hati-hati. Ini menekankan pentingnya kesabaran dan kehati-hatian dalam berbagai aspek kehidupan.
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه أيضًا بلفظ: وَلْيَنْصُرْ الرَّجُلُ اَخَاهُ ظَالِمًا اَوْ مَظْلُومًا اِنْ كَانَ ظَالِمًا فَلْيَنْهَهُ فَاِنَّهُ لَهُ نَصْرٌ وَاِنْ كَانَ مَظْلُومًا فَلْيَنْصُرْهُ
“Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: ‘Seorang lelaki hendaklah menolong saudaranya, baik dalam keadaan zalim maupun terzalimi. Jika dia zalim, maka hendaklah dia dihentikan (ditegur), karena itu adalah bentuk pertolongan baginya. Dan jika dia terzalimi, maka hendaklah dia dibantu.'”
Hadits ini menekankan pentingnya menolong sesama. Dalam konteks ini, menolong tidak hanya berarti membantu yang terzalimi tetapi juga menegur atau menghentikan orang yang zalim. Dengan menegur orang yang zalim, kita sebenarnya memberikan bantuan kepada mereka untuk menyadari kesalahan dan memperbaikinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Bukanlah orang yang kuat itu adalah yang mampu menang dalam perkelahian, melainkan orang yang kuat adalah yang dapat menahan dirinya ketika marah.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah diukur dari kemampuan fisik atau keahlian dalam berkelahi, tetapi dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dan nafsunya, terutama saat marah. Mengendalikan diri saat marah menunjukkan kematangan dan kekuatan mental serta spiritual seseorang.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Kedua orang yang saling mencela, maka apa pun yang mereka katakan, beban dosa ada pada yang memulai, selama yang dizalimi tidak melampaui batas.'”
Hadits ini menjelaskan bahwa dalam situasi perselisihan atau saling mencela, dosa utama berada pada pihak yang memulai perselisihan tersebut. Namun, jika pihak yang dizalimi membalas dengan tindakan yang berlebihan atau melampaui batas, maka tanggung jawab atau dosa juga akan menjadi tanggung jawabnya. Ini menekankan pentingnya mengendalikan diri dan bersikap adil dalam situasi konflik atau perselisihan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Tidak akan berkurang harta karena sedekah, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemaafan kecuali dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri kepada Allah kecuali Allah mengangkat derajatnya.'”
Hadits ini mengajarkan tiga prinsip penting:
1.Sedekah Tidak Mengurangi Harta: Memberi sedekah tidak akan mengurangi harta kita, melainkan sebaliknya, sedekah akan membawa berkah dan kebaikan.
2.Kemaafan Membawa Kemuliaan: Ketika seseorang memaafkan kesalahan orang lain, Allah akan menambah kemuliaan dan kehormatan kepada orang tersebut.
3.Kerendahan Hati Diangkat Derajatnya: Jika seseorang merendahkan diri dan bersikap rendah hati karena Allah, Allah akan mengangkat derajat dan memberikan kehormatan kepadanya.
Hadits ini menggarisbawahi pentingnya berbuat baik, memaafkan, dan memiliki sikap rendah hati dalam kehidupan seorang Muslim.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Tahukah kalian apa itu ghibah?’ Mereka menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda: ‘Ghibah adalah menyebutkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak suka.’ Mereka bertanya: ‘Bagaimana jika yang saya sebutkan itu memang ada pada saudara saya?’ Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kamu sebutkan itu ada pada saudaramu, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya. Namun jika tidak ada pada dirinya, maka kamu telah membuat fitnah (berita bohong) tentangnya.'”
Hadits ini menjelaskan pengertian ghibah atau menggunjing, yaitu membicarakan tentang seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya, dan menjelaskan konsekuensinya. Jika apa yang dibicarakan adalah kebenaran, maka itu adalah ghibah. Namun jika tidak benar, maka itu termasuk dalam kategori fitnah atau kebohongan. Hadits ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berbicara tentang orang lain dan menghindari ghibah serta fitnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Allah tidak menutupi aib seorang hamba di dunia kecuali Allah akan menutupinya pada Hari Kiamat.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa jika seseorang berusaha untuk menutupi aib atau kesalahan orang lain di dunia, Allah akan membalas kebaikan tersebut dengan menutupi aibnya pada Hari Kiamat. Ini menekankan pentingnya menjaga dan menutupi aib orang lain serta menunjukkan betapa besar rahmat dan pengampunan Allah terhadap hamba-Nya yang bersikap demikian.
عَنْ جَرِيرٍ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Dari Jariir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang terhindar dari kelemahlembutan, maka dia akan terhindar dari kebaikan.'”
Hadits ini mengajarkan pentingnya sikap lembut dan penuh kasih sayang dalam berinteraksi dengan orang lain. Kelemahlembutan adalah salah satu karakteristik yang sangat dihargai dalam Islam dan merupakan tanda dari kebaikan. Sebaliknya, kekurangan dalam kelemahlembutan dapat menyebabkan seseorang kehilangan banyak kebaikan dalam hidupnya, baik dalam hubungan sosial maupun dalam amal ibadahnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Tidak seharusnya seorang shiddiq (orang yang benar dan terpercaya) menjadi pelaknat.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa seseorang yang dikenal sebagai orang yang benar, jujur, dan terpercaya (shiddiq) seharusnya tidak memiliki sifat melaknat atau mencela orang lain. Sifat mencela dan melaknat adalah karakteristik yang tidak sesuai dengan akhlak baik yang diharapkan dari seorang Muslim, terutama bagi mereka yang dikenal sebagai orang yang terpercaya dan berintegritas. Ini menekankan pentingnya menjaga adab dan etika dalam berbicara tentang orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: ‘Pernah dikatakan, “Wahai Rasulullah, doakan kebinasaan bagi orang-orang musyrik.” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pelaknat. Aku hanya diutus sebagai rahmat.”‘”
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diutus oleh Allah bukan untuk melaknat atau mengutuk, tetapi untuk menyebarkan rahmat dan kasih sayang. Ini menggarisbawahi prinsip dasar dari dakwah Islam yang penuh dengan kasih sayang dan pengertian, bahkan terhadap mereka yang belum memeluk agama Islam. Nabi Muhammad SAW adalah contoh teladan dalam menyebarkan pesan agama dengan kelemahlembutan dan belas kasih.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling buruk adalah orang yang memiliki dua wajah, yang datang kepada orang ini dengan satu wajah dan kepada orang itu dengan wajah yang lain.'”
Hadits ini mengkritik orang yang berpura-pura atau bersikap munafik dengan menunjukkan dua wajah atau sikap berbeda tergantung pada situasi atau orang yang dihadapinya. Sikap seperti ini merupakan bentuk kemunafikan dan sangat tercela dalam Islam karena tidak mencerminkan kejujuran dan integritas. Hadits ini menekankan pentingnya konsistensi dan kejujuran dalam interaksi sosial.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya sebagian dari apa yang diwarisi manusia dari ucapan-ucapan Nabi-nabi terdahulu adalah: ‘Jika kamu tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa rasa malu adalah salah satu prinsip moral yang penting dalam Islam. Jika seseorang tidak memiliki rasa malu atau rasa tanggung jawab, dia akan cenderung melakukan tindakan apa pun tanpa memperhatikan dampaknya terhadap diri sendiri atau orang lain. Rasa malu (haya) adalah kualitas penting yang menjaga seseorang dari perbuatan yang buruk dan tidak etis.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.'”
Hadits ini menekankan bahwa kekayaan sejati bukanlah diukur dari banyaknya harta benda atau materi yang dimiliki seseorang, tetapi dari kepuasan batin dan kemandirian jiwa. Seseorang yang merasa puas dan cukup dengan apa yang dimilikinya, dan tidak dikuasai oleh keinginan material yang tiada habisnya, adalah orang yang benar-benar kaya. Ini menggarisbawahi pentingnya sikap qana’ah (puas) dan kebersihan hati dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan sejati.
عَن سَهْل بْن سَعْدٍ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Aku dan orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini,’ dan beliau menunjukkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.”
Hadits ini menunjukkan keutamaan besar bagi mereka yang merawat dan mengurus anak yatim. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang menjaga dan merawat anak yatim akan berada sangat dekat dengan beliau di surga, seperti jarak antara jari telunjuk dan jari tengah yang saling berdampingan. Ini menegaskan pentingnya tindakan kebaikan dan perhatian terhadap anak yatim, serta menjadikannya sebagai amal yang sangat dicintai dan dihargai di sisi Allah.
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رضي الله عنه قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Dari Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Berlindunglah dari api neraka meskipun dengan separuh biji kurma. Jika tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik.'”
Hadits ini mengajarkan pentingnya berusaha untuk melakukan amal kebaikan sebagai perlindungan dari siksa neraka. Rasulullah SAW menekankan bahwa jika seseorang tidak mampu memberikan sedekah dalam bentuk materi, seperti separuh biji kurma, maka ia masih bisa melakukannya dengan ucapan yang baik. Ini menunjukkan bahwa amal kebaikan, tidak peduli seberapa kecil, memiliki nilai besar dan dapat menjadi penyelamat dari api neraka.
Selain itu, hadits ini menekankan pentingnya kebaikan dalam perkataan, karena kata-kata yang baik juga memiliki dampak positif yang besar.
عَنِ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Dari Jariir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak memberikan rahmat, maka dia tidak akan diberikan rahmat.'”
Hadits ini mengajarkan bahwa sifat rahmat atau belas kasih sangat penting dalam Islam. Orang yang tidak menunjukkan rasa belas kasih terhadap orang lain tidak akan menerima rahmat dan belas kasih dari Allah. Ini menggarisbawahi pentingnya memiliki sikap penyayang dan peduli terhadap sesama, karena sikap ini adalah salah satu cara untuk meraih kasih sayang Allah dan mendapatkan kebaikan dalam hidup.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan, janganlah saling mengintip, janganlah saling iri hati, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.'”
Hadits ini memberikan beberapa nasihat penting tentang menjaga hubungan yang harmonis dan saling menghormati di antara sesama Muslim:
1.Hindari Prasangka: Prasangka atau dugaan yang tidak berdasar bisa sangat menyesatkan dan tidak sesuai dengan kebenaran.
2.Jangan Mengintip atau Mencari-cari Kesalahan: Mengintip urusan pribadi orang lain atau mencari kesalahan mereka adalah tindakan yang tidak etis dan dapat merusak hubungan.
3.Hindari Iri Hati, Pembelakangan, dan Kebencian: Iri hati, saling membelakangi, dan kebencian adalah sikap yang merusak persaudaraan dan harmoni sosial.
4.Jadilah Saudara: Perlakukan sesama Muslim sebagai saudara, dengan sikap kasih sayang dan saling mendukung.
Hadits ini mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik, memperbaiki komunikasi, dan menjauhi perilaku negatif yang bisa merusak persaudaraan dalam Islam.
عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam biasa berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, dan usia tua. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, serta aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.'”
Hadits ini menunjukkan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan kesulitan dalam hidup dan akhirat. Doa ini mencakup:
1.Kelemahan (العجز): Memohon perlindungan dari kelemahan yang bisa menghalangi seseorang dari beribadah dan melakukan kebaikan.
2.Kemalasan (الكسل): Memohon perlindungan dari kemalasan yang dapat menghambat seseorang dari melaksanakan tugas dan amal kebaikan.
3.Ketakutan (الجبن): Memohon perlindungan dari ketakutan yang dapat menghambat seseorang dari menghadapi tantangan dan berjuang di jalan Allah.
4.Usia Tua (الهرم): Memohon perlindungan dari kondisi fisik dan mental yang menurun seiring dengan bertambahnya usia.
5.Fitnah Kehidupan dan Kematian (فتنة المحيا والممات): Memohon perlindungan dari ujian dan cobaan dalam kehidupan dan kematian.
6.Azab Kubur (عذاب القبر): Memohon perlindungan dari siksa kubur.
Doa ini mencerminkan kesadaran Nabi SAW akan berbagai bentuk ujian dan bahaya yang dapat dihadapi dalam kehidupan, serta kebutuhan untuk memohon perlindungan dan bantuan Allah dalam menghadapi segala kesulitan.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنِّي لأمزح، ولا أقول إلَّا حقًّا
“Dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku bergurau, namun aku tidak berkata kecuali yang benar.'”
Hadits ini menjelaskan bahwa meskipun Nabi Muhammad SAW terkadang bersenda gurau atau bercanda, beliau selalu menjaga kebenaran dalam ucapan dan tindakannya. Beliau mengajarkan bahwa bergurau atau bercanda tidak berarti seseorang boleh berbicara dengan tidak benar atau mengabaikan kebenaran. Kebenaran harus tetap dijaga dalam semua bentuk komunikasi, termasuk dalam bercanda. Ini juga menunjukkan pentingnya integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain. Meskipun humor adalah bagian dari kehidupan sosial, penting untuk memastikan bahwa humor tersebut tidak merugikan orang lain atau melibatkan kebohongan.
عن هاني بن يزيد رضي الله عنه عن النَّبي صلى الله عليه وسلم قال: إنَّ موجبات المغفرة بذل السلام، وحسن الكلام
“Dari Hani bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya hal-hal yang menyebabkan pengampunan adalah memberikan salam dan berbicara dengan baik.'”
Hadits ini menjelaskan dua tindakan utama yang dapat membawa kepada pengampunan dari Allah:
1.Memberikan Salam (بذل السلام): Mengucapkan salam kepada orang lain merupakan tindakan yang mendatangkan keberkahan dan mempererat hubungan sosial. Salam adalah salah satu bentuk doa kesejahteraan untuk orang lain dan merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW.
2.Berbicara dengan Baik (حسن الكلام): Berbicara dengan kata-kata yang baik dan sopan sangat penting dalam membangun hubungan yang positif dan harmonis. Kata-kata yang baik tidak hanya memperlihatkan adab yang baik, tetapi juga bisa menciptakan suasana yang menyenangkan dan mendamaikan hati.
Hadits ini menekankan bahwa tindakan-tindakan sederhana namun penting ini dapat menjadi sarana untuk meraih pengampunan Allah dan meningkatkan kualitas hubungan antar sesama manusia.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تدخلون الجنَّة حتَّى تؤمنوا، ولا تؤمنوا حتَّى تحابُّوا، أولا أدلُّكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم؟ أفشوا السَّلام بينكم
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.'”
Hadits ini menggaris bawahi pentingnya iman dan saling mencintai di antara umat Islam sebagai syarat untuk memasuki surga. Beberapa poin penting dari hadits ini:
1.Iman sebagai Syarat Masuk Surga: Salah satu syarat untuk memasuki surga adalah iman yang benar. Namun, iman yang tulus harus diikuti dengan tindakan nyata dalam hubungan sosial.
2.Cinta sebagai Buah Iman: Iman yang sebenarnya akan melahirkan cinta dan kasih sayang di antara sesama Muslim. Cinta ini adalah hasil dari iman yang mendalam dan saling menghormati.
3.Sebarkan Salam: Rasulullah SAW mengajarkan bahwa salah satu cara untuk membangun cinta dan mempererat hubungan di antara umat Islam adalah dengan menyebarkan salam. Salam adalah bentuk doa keselamatan dan kesejahteraan, dan menyebarkannya akan menciptakan suasana persaudaraan dan kedekatan.
Hadits ini menekankan bahwa menyebarkan salam adalah cara yang sederhana namun efektif untuk memperkuat hubungan sosial dan menciptakan suasana kasih sayang di dalam masyarakat Muslim.
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قد أفلح من أسلم، ورُزق كفافًا، وقنَّعه الله. رواه مسلم
“Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‘Sungguh beruntung orang yang telah memeluk Islam, diberi kecukupan (rezeki), dan diberi kepuasan oleh Allah.’ (HR. Muslim).”
Hadits ini menjelaskan tiga bentuk keberuntungan yang mencakup:
1.Memeluk Islam (الإسلام): Menjadi Muslim dan menerima agama Islam adalah bentuk keberuntungan terbesar. Memeluk Islam membuka pintu menuju kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
2.Diberi Kecukupan (كفاف): Memiliki kecukupan dalam hal materi dan kebutuhan sehari-hari. Rezeki yang cukup tanpa berlebihan adalah bentuk berkah dari Allah, yang membantu seseorang untuk hidup dengan tenang dan tidak terjerat dalam keserakahan.
3.Kepuasan dari Allah (القناعة): Menerima dan merasa puas dengan apa yang diberikan Allah. Kepuasan hati adalah anugerah besar yang membuat seseorang tidak terpengaruh oleh keinginan yang berlebihan dan lebih fokus pada rasa syukur.
Hadits ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan keberuntungan sejati adalah ketika seseorang memeluk agama Islam, diberi kecukupan dalam kehidupan, dan merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Ini mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan materi dan spiritual dalam hidup.