KABAR GEMBIRA bagi HAMBA yang MAMPU ber-ISTIQOMAH

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushilat: 30).Allah swt dalam kalam muliaNya, yang Qadiim. Menyatakan dengan sebelumnya menyematkan huruf taukid “Inna”, bahwa bagi orang-orang yang sudah mengikrarkan bahwa Rabb nya adalah Allah kemudian mereka istiqomah, memegang teguh keimanannya itu, maka Allah akan turunkan kepada mereka para malaikat, dengan memberikan kabar gembira, agar jangan bersedih lagi, dengan hal apapun, baik dunyawiyyah maupun ukhrawiyyah. Dan ditutup dengan balasan terindahnya yaitu Surga, sebagai tempat mereka kembali..Pada waktu itu, keimanan masih lah sangat pelik untuk masuk kedalam qalbu masyarakat jahiliyah Mekkah. Maka suatu ketika Rasulullah saw membacakan ayat ini kepada Anas bin Malik, dan Rasulullah mengimbuhkan dengan sabdanya, “Masyarakat sudah mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Allah, namun kemudian kebanyakan mereka setelah itu, kafir kembali.” “Maka barang siapa mengikrarkan keimanannya kemudian ia jaga sampai ajal menjemputnya, inilah nilai istiqomah baginya”..Dari penggalan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada masanya keitiqomahan yang dimaksud adalah keimanan yang tidak terputus sampai nafas terakhir, maka bagi mereka balasan seperti yang dijanjikan dalam QS. Fushilat: 30..Terdapat satu doa yang patut untuk kita contoh, yakni doa yang dipanjatkan oleh Al Hasan Al Bashri, agar Allah karuniakan keistiqomahan kepada kita, yang berbunyi:.اَللّهمَ اَنْتَ رَبُّنا، فَارْزُقْنَا الاِستقامةَ.”Ya Allah Engkaulah Tuhan kami, Berilah kami rizki berupa keiistiqomahan”.Dalam riwayat Imam Muslim diceritakan bahwa Sufyan bin Abdillah Al Tsaqafi, meminta wasiat kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulallah katakanlah kepada ku di dalam Islam, sebuah perkataan yang saya tidak akan menanyakannya tentang hal tersebut kepada orang lain, setelah mu.” Maka Rasulullah saw menjawab, “Katakanlah ‘Aku beriman kepada Allah’ dan istiqomahlah (pegang keimanan itu dengan keteguhan)'”. (HR. Muslim dan Nasa’i) dalam riwayat Imam Ahmad ditambahkan, bahwa sufyan bertanya kembali kepada Rasulullah saw, “Lalu apa perkara yang engkau paling khawatirkan kepada ku wahai Rasulullah ?” Rasulullah menjawabnya dengan memegang ujung

Nikmat Allah SWT

Nikmat terbesar, yang Allah berikan kepada makhlukNya adalah dikenalkan dan ditanamkan dalam hatinya kalimat tauhid, La ilaha illallah. Sebagaimana ini terisyaratkan dalam susunan ayat dalam QS. Ali Imran, bahwa di antara nikmat Allah yang diberikan kepada makhluknya, untuk pertama kalinya adalah dengan nikmat Kalimat Tahlil (pada ayat2). Maka Mujahid ketika menafsirkan makna QS. Luqman ayat 20, yakni bahwa Allah swt telah menyempurnakan kepada kalian nikmatNya, baik yang dzahir maupun yang bathin. Maknanya adalah nikmat La ilaha illallah. Sufyan ibn Uyaiynah memantapkan kembali, dengan qaul nya, _”Tidaklah Allah swt memberikan nikmat kepada seorang hamba yang lebih besar dari pada dikenalkannya hamba tersebut dengan kalimat La Ilaha Illallah._” wallahu A’lam.

PENTINGNYA MELAKUKAN RIHLAH DALAM MENUNTUT ILMU

Sumber gambar: shutterstock

Dalam sebuah riwayat hadits Abu Dzar Al Ghifari dinasihati secara pribadi oleh Rasulullah SAW, “Wahai Abu Dzar, sungguh janganlah terlewat waktu pagi kecuali engkau telah mempelajari satu ayat dari kitab Allah (Al-Qur’an), dan itu lebih baik bagimu dari pada engkau melaksanakan sholat seratus rakaat, dan sungguh jika pada waktu pagi engkau mempelajari satu bab dari pada ilmu, baik kamu mengamalkan setelahnya ataupun tidak  itu tetap lebih baik dari pada engkau melaksanakan sholat seribu rakaat”. (HR. Ibnu Majah, No. 219)

                Hadits ini sebagai penegas bagi umat Islam bahwa ilmu dan yang perangai-perangainya sangatlah diindahkan dalam Islam. Belajar, yakni sebagai proses menggali dan memahami ilmu pengetahuan disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW adalah bagian dari amal yang terbaik melebihi amal-amal yang lainnya. Maka dalam kitab Rihlatul Ulama fi Thalabil Ilmi, yang dikarang oleh Abu Anas Majid Al Bankani, disebutkan bahwa para ulama fiqh menyatakan, jika seorang yang berilmu (‘Aliim) menjadi rujukan untuk permasalahan-permasalahan di masyarakat (dalam permasalahan ilmu), maka diberikan keluasan untuk tidak mengerjakan sunnah-sunnah yang bersifat rawatib (Shalat rawatib mengiringi sholat fardhu), dan bahkan orang yang berilmu ini tidak diperbolehkan untuk keluar dari negaranya untuk mengikuti peperangan dan jihad, ketika di Negara atau kota tersebut tidak memiliki orang ‘alim selainnya.

                Salah satu proses mencari ilmu yang menjadi ‘aadah (kebiasaan) para ulama adalah melakukan rihlah (perjalanan menuju tempat guru/syeikh/Imam). Rihlah menjadi tradisi yang sangat kental dalam dunia keilmuan Islam, bahkan pada masanya menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang dalam mencari ilmu. Sebagaimana Al Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang rihlah fil ‘ilmi (perjalanan dalam menuntut ilmu), “Apakah  lebih baik seseorang yang mencari ilmu hanya melazimkan (menetapkan diri) pada seorang guru yang memiliki banyak ilmu, atau tetap dia harus rihlah (bepergian)?”, maka beliau menjawab, “Pergilah, dan tulislah dari banyak ulama dan pelajarilah dari mereka.”

                Di antara kisah mulia yang diabadikan di dalam Al-Qur’an dalam rihlatul ‘ilm adalah kisah Nabi Musa ‘alaihissalam bersama dengan Nabi Khidir ‘alaihissalam. Bahwa dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari, “Bahwa suatu ketika berdepat antara Abdullah bin Abbas dengan Al Hurru bin Qais bin Hishin Al Fazari tentang sahabat Nabi Musa ‘Alaihis salam, Ibnu ‘Abbas berkata; dia adalah Khidlir ‘Alaihis salam. Tiba-tiba lewat Ubay bin Ka’b di depan keduanya, maka Ibnu ‘Abbas memanggilnya dan berkata: “Aku dan temanku ini berdebat tentang sahabat Musa ‘Alaihis salam, yang ditanya tentang jalan yang akhirnya mempertemukannya, apakah kamu pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan masalah ini?” Ubay bin Ka’ab menjawab: Ya, benar, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika Musa di tengah pembesar Bani Israil, datang seseorang yang bertanya: apakah kamu mengetahui ada orang yang lebih pandai darimu?” Berkata Musa ‘Alaihis salam: “Tidak”. Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa ‘Alaihis salam: “Ada, yaitu hamba Kami bernama Hidlir.” Maka Musa ‘Alaihis Salam meminta jalan untuk bertemu dengannya. Allah menjadikan ikan bagi Musa sebagai tanda dan dikatakan kepadanya; “jika kamu kehilangan ikan tersebut kembalilah, nanti kamu akan berjumpa dengannya”. Maka Musa ‘Alaihis Salam mengikuti jejak ikan di lautan. Berkatalah murid Musa ‘Alaihis salam: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi? Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidaklah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan”. Maka Musa ‘Alaihis Salam berkata:.”Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Maka akhirnya keduanya bertemu dengan Hidlir ‘Alaihis salam.” Begitulah kisah keduanya sebagaimana Allah ceritakan dalam Kitab-Nya.” (HR. Bukhari, No. 74).                

Inilah perumpaan yang Allah swt berikan kepada pencari ilmu, bahwa belajar harus dilaksanakan dengan kesungguhan, salah satunya dengan melakukan rihlah. Imam Syafi’I dalam baitnya menyatakan bahwa syarat mencari ilmu adalah adanya al Hirsh, yakni kesungguhan dan keinginan yang kuat terhadap ilmu yang dimaksud. Rihlah dalam mencari ilmu menjadikan seseoran dapat menerima pembelajaran kesabaran yang tidak didapatkan olehnya dalam majelis ilmu, dengan hanya bermulazamah kepada satu guru. Dan pengertian akan kemulian ilmu akan lebih dirasakan oleh mereka yang melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Semoga kita senantiasa diberikan kesempatan untuk menimba ilmu, melalui guru-guru mulia dimanapun mereka berada.